MOJOKERTO, Tugujatim.id – Pemilihan umum (pemilu) serentak telah bergulir pada Februari 2024. Meski begitu, angka golongan putih alias golput tembus 40 juta lebih suara.
“Total suara tersebut jauh melampaui pemilih PDI Perjuangan yang mendapat total 25.387.279 suara serta beda tipis dengan pemilih pasangan calon (paslon) Anies-Muhaimin yang mencapai 40.971.906 suara,” ujar Rektor Unim Mojokerto Dr Rachman Sidharta Arisandi saat mengisi acara LKMM PD BEM FISIP Unim Mojokerto, Kamis (23/05/2024).
Pada acara tersebut, dua topik penelitian disajikan secara panel. Dr Rachman Sidharta Arisandi menjelaskan tentang Jalur-Jalur Menuju Disafeksi Politik: Literasi Politik, Persepsi Korupsi Politik, dan Political Distrust. Sementara itu, dosen Pascasarjana UIBU Malang Dr Sakban Rosidi menjelaskan tentang Mengeksplorasi Signifikansi Citra Politik Gemoy: Tipologi dan Karakteristik Pemilih, serta Calon Presiden Pilihan Mereka.
Tingginya angka golput pada Pemilu Februari lalu, Dr Rachman melanjutkan, dikhawatirkan dapat mengganggu legitimasi yang menyangkut dasar pengakuan dan dukungan rakyat terhadap pemerintah. Tanpa legitimasi cukup, negara akan cenderung labil, tidak ada stabilitas nasional, sulit melakukan perubahan, serta tidak sanggup memperluas bidang dan meningkatkan mutu kesejahteraan.
“Tanpa legitimasi, government akan ungovernable,” tegasnya.
Dr Rachman menengarai bahwa fenomena tersebut berhubungan dengan literasi politik. Pasalnya, literasi politik menyumbang peningkatan hasrat proses demokrasi yang bermutu, penegakan hukum dan etika, sekaligus dorongan mendapatkan clean government and good governance.
“Selain itu, persepsi bahwa demokrasi belum bermutu, penegakan hukum dan etika masih lemah, serta clean government and good governance yang belum terwujud turut menyumbang pada kesangsian dan disafeksi politik,” sambungnya.
Materi yang disampaikan oleh Dr Rachman ini menjelaskan tentang jalur-jalur menuju disafeksi politik. Selain berangkat dari fenomena golput, kemelekan politik (political literacy) mendasari persepsi evaluatif korupsi politik (patronage and money).
“Persepsi evaluatif korupsi politik memicu kesangsian politik (political distrust) atau kecurigaan politik (political suspicion). Lalu, kesangsian politik menumbuhkan rasa tak-suka politik (political disaffection) dengan faktor apatisme dan sinisme politik (political apathy and cycisim),” urai Dr Rachman.
Sebagai penutup, Dr Rachman mengatakan, tersedia dua penghadapan akibat kondisi politik terkini khususnya pasca Pemilu Serentak Februari 2024. Pertama, hentikan literasi politik rakyat yang jelas melawan akal sehat dan hukum peradaban.
“Kedua, upayakan bersama-sama demokrasi yang bermutu, penegakan hukum dan etika, serta clean government and good governance,” ujarnya.
Writer: Hanif Nanda Zakaria
Editor: Dwi Lindawati