Kuliah Kearifan Kultural Bersama Sujiwo Tejo
UNIM. Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Majapahit menggelar kegiatan keren. Sebuah dialog budaya, menggunakan sebuah novel grafis dan representasinya dalam bentuk drama dan musik puitik sebagai semacam titik-tolak, telah berlangsung dengan menarik di Graha Nuswantara Lantai II Universitas Islam Majapahit (26 September 2016).
Mengawali acara, Mas Doni Muslimin dosen Prodi Pendidikan Studi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Cahya Suryani dosen Prodi Ilmu Komunikasi, sempat menyegarkan suasana dengan aneka kuis berhadiah seputar novel grafis Serat Tripama dan penulisnya, Sujiwo Tejo.
Dialog budaya ini menghadirkan Agus Hadi Sujiwo, atau yang lebih dikenal dengan Sujiwo Tejo, dan Dr. Sakban Rosidi, M.Si, Sekretaris Eksekutif Univeristas Islam Majapahit, sebagai pemerhati budaya, dengan pemandu dialog Akhmad Fatoni, M.Hum., dosen Program Pendidikan Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Univeristas Islam Majapahit.
Dibuka oleh Rektor Universitas Islam Majapahit, pentas dan dialog budaya dihadiri oleh sekitar 600 hadirin, tak hanya dari kalangan mahasiswa Universitas Islam Majapahit, tetapi juga para mahasiswa dari perguruan tinggi lain dan para pegiat budaya, baik yang berasal dari Mojokerto maupun dari kota lain, seperti Jombang, Malang dan Surabaya.
Selaku Rektor, Dr. Rachman Sidharta Arisandi, M.Si., berpesan agar manusia Indonesia, dan lebih-lebih sivitas akademika Universitas Islam Majapahit, agar senantiasa meningkatkan kearifan kultural. Disebutkan bahwa kearifan kultural merupakan salah satu penanda penting mahasiswa dan lulusan Universitas Islam Majapahit. Penanda lain adalah pemikiran akademik, kecakapan profesional, dan kesadaran religius.
“Tetapa apa sebenarnya yang dimaksud kearifan kultural?”, tanya Rektor dalam bahasa retorik. Kearifan kultural adalah kemampuan memilih tujuan terbaik dengan cara-cara terbaik (pursuing of the best ends by the best means). Jadi, setiap niat atau tujuan baik juga harus dicapai dengan cara-cara yang baik pula. Proses penerimaan agama-agama di bumi Nusantara, misalnya, bisa dikatakan masuk dan diterima tanpa meninggalkan nilai kearifan kultural.
Pun bila cinta menjadi tujuan baik, maka harus pula diupayakan dan dicapai dengan cara-cara baik. Sumantri, tokoh utama dalam novel interteks adalah salah satu dari tiga perumpamaan (Tripama) perilaku manusia. Dua perumpamaan lain, yang sedianya juga akan dinovelkan, adalah perilaku Kumbokarno dan Karno. Sumantri bagaikan mengalami cinta gila, yang melupakan kemuliaan dharma ksatria demi cinta-gilanya kepada Citrawati.
Sementara drama puitik ditampilkan oleh Teater KM 7 Universitas Islam Majapahit dengan sedikit iringan gitar Sujiwo Tejo, musikalisasi disajikan secara kolaboratif oleh Paduan Suara Universitas Islam Majapahit.
Sontak kesuka-citaan diungkapkan baik oleh para pegiat Teater KM 7 dan Paduan Suara Universitas Islam Majapahit. “Wihirr… kapan lagi bisa selfi sama mbah Sujiwo Teko — dialog budaya dan musikalisasi Serat Tripama: Gugur Cinta di Maespati”, tulis Siti Nur Fatimah saat memamerkan fotonya untuk Instagram.
Dialog berlangsung seru dan saling kritik, antara Sujiwo Tejo dengan Sakban Rosidi. Guyonan pembacaan ayat al-Qur’an dengan lagu Manuk Dadali, disambar cepat oleh Sujiwo Tejo, karena jelas berbeda niat antara contoh seperti itu dengan niat dia saat melagukan ayat-ayat suci al-Qur’an dengan sepenuh jiwa sebagai bentuk kecintaan, bentuk persetubuhan antara jiwa kesenian dia dengan firman-firman Tuhan. Sakban Rosidi pun tidak berkutik, dan harus meralat bahwa contoh tersebut memang tidak seniat dengan laku berkesenian Sujiwo Tejo.
Ganti Sujiwo Tejo tidak berkutik saat Sakban Rosidi menyebut bahwa lakon wayang purwo Sumantri atau Patih Suwanda sekarang amat jarang digelar, padahal sangat tinggi nilai pelajarannya. Mengapa? Karena biaya pagelaran wayang kulit mahal, sehingga hanya pejabat atau instansi pemerintah atau swasta yang sering membiaya pagelaran wayang kulit. Baik pejabat maupun instansi, cenderung menggelar lakon-lakon turunnya wahyu atau membangun kerajaan.
“Lakon pesanan, yang menurut penelitian Pak Rektor, digunakan oleh yang nanggap sebagai legitimasi kultural kekuasaan mereka”, kata Sakban Rosidi yang dibenarkan oleh Dr. Rachman Sidharta Arisandi, M.Si. “Saya merasa prihatin, merasa nelongso melihat pagelaran wayang dimaksudkan seperti itu”, imbuh Sakban Rosidi.
Ada pelajaran menarik saat Sujiwo Tejo mengungkapkan bahwa seniman tidak mencipta, tetapi lebih bersifat merangkai atau menggubah. Semua nada sudah tersedia, semua kata sudah tersedia, tinggal bagaimana merangkau dan menggubahnya. Menggaris-bawahi itu, Sakban Rosidi pun berdiri dan tampil membacakan puisi pendek:
God creates everything from nothing.
Humans make something from other things.
God creates love. Humans make … love.
Sedikit uraian tentang nilai tindakan, Sakban Rosidi menegaskan kalau nilai tindakan seorang manusia, selain dinilai berdasarkan niat dan caranya, juga harus dinilai berdasarkan akibatnya bagi orang lain. Begitulah, sehingga dengan sangat tegas, Sujiwo Tejo, mengemukakan:
Dosa terbesar koruptor itu, ketika dia ditangkap.
Dia membuat kita merasa suci.
Itu dosa besar.
Setelah beberapa nomor lagu ditampilkan bersama Paduan Suara Universitas Islam Majapahit, dialog budaya ditutup dengan nomor lama Sujiwo Tejo yang tetap penting dan menyentuh saat diperdengarkan, yang berjudul Pada Suatu Ketika. Sebuah kejutan sangat menggetarkan terjadi ketika, secara tak dinyana al-Qur’an Surat Al Fajr ayat 27-30 dilagukan sangat intens, tetapi tetap dalam harmoni musik Pada Suatu Ketika. Bisa dibilang, judul lagu tersebut telah sedikit berubah, menjadi “Nafsu Mutma’innah Pada Suatu Ketika”.
Seperti pesan Rektor, kearifan kultural adalah kemampuan memilih tujuan baik, juga dengan cara-cara baik, dan semoga memberikan akibat baik pula bagi diri sendiri dan orang lain. Terimakasih atas kuliah kearifan kultural kali ini. Terimakasih mbah Sujiwo Tejo. Terimakasih Sir Sakban Rosidi. Terimakasih Pak Rektor. Terimakasih jajaran Prodi Ilmu Komunikasi. Terimakasih Panitia. Terimakasih Bentang Pustaka. Terimakasih Teater KM 7. Terimakasih Paduan Suara universitas. Tancep Kayon.
Komentar Terbaru