Sebagaimana kita ketahui bersama, bulan Mei merupakan bulan yang cukup penting bagi bagi bangsa Indonesia, karena tak hanya ada Hari Buruh Sedunia, tetapi juga ada Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional. Setiap kali kita memperintahi Hari Pendidikan Nasional, niscaya mengingat dan menelaah kembali gagasan dan ajaran Ki Hadjar Dewantara.
Sejak kecil kita telah diajarkan tiga gagasan Ki Hajar Dewantara tentang peran utama pendidik, ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.
Ing ngarso sung tulodho. Di depan memberi keteladanan. Setiap pendidik, lebih-lebih yang beragama Islam dan bekerja dalam lembaga pendidikan Islam, harus senantiasa memahami peran utamanya, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah, yaitu: sebagai teladan baik (uswatun hasanah) bagi para peserta didiknya. Hanya dengan cara demikian, seorang pendidik layak beroleh kehormatan, tidak hanya di hadapan manusia, tetapi juga di hadapan Tuhan sang pencipta dimana nantinya kita akan kembali mempertanggungjawabkan sejauh mana kita melaksanakan salah satu peran kita sebagai pendidik.
Ing madya mangun karso. Di tengah membangun kehendak. Setiap pendidik, bila menghendaki upaya pendidikannya berhasil, harus senantiasa memahami peran utamanya sebagai pengilham (inspirator) bagi peserta didik, sebagaimana ungkapan Arab, “Man Jadda WaJada”. Bila dan hanya bila seorang pendidik berhasil menghilhami peserta didik hingga berani bercita-cita. Berani bercita-cita berbeda dengan bermimpi. Berani bercita-cita tentu mempunyai konsekuensi untuk mengupayakan apa yang dicita-citakan sekuat tenaga, dan berdoa penuh harap dan keyakinan, maka dia layak beroleh kehormatan, tidak hanya di hadapan manusia, tetapi juga di hadapan Tuhan.
Tut wuri handayani. Di belakang memberi kekuatan. Setiap pendidik, bila menghendaki upaya pendidikannya berdampak memandirikan, harus senantiasa memahami peran utamanya sebagai pemberi daya (enabler). Ini menunjuk pada peran pendidik dalam memberi tambahan daya bagi peserta didik untuk berbuat kebaikan maupun memberi daya menghindari kemungkaran, sebagaimana tersirat dalam perintah amar maruf nahi mungkar. Bila dan hanya bila seorang pendidik berhasil memberi daya tambahan berbuat baik dan menghindari kemungkaran, maka dia layak beroleh kehormatan, tidak hanya di hadapan manusia, tetapi juga di hadapan Tuhan.
Dari ketiga unsur tersebut setiap orang terdidik harus dapat mencapai tembang macapat dalam serat Wulangreh yang ditulis oleh Sri Susuhunan Pakubuwana IV yang berbunyi Ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangkese dur angkara yang artinya adalah ilmu itu harus dikuasai dengan ketekunan keras memperkuat karakter (budi pekerti), dilakukan dengan segenap kesungguhan agar kelak mendapat kebahagiaan, dan berkemampuan menyingkirkan angkara murka.
Sudahkah kita memahami dan melaksanakan tiga nilai dan sifat wajib yang harus dimiliki oleh pendidik tersebut dalam peran kependidikan kita?
Selanjutnya, marilah bersama kita juga mengingat dan menelaah kembali gagasan cara belajar menurut Ki Hadjar Dewantara, niteni, nuladhani, lan nambahi.
Niteni berarti memperhatikan dengan sungguh-sungguh, agar pengetahuan, sikap dan kecakapan yang sedang diajarkan dapat dipahami, diikuti dan dikuasai dengan baik. Siswa, dan lebih-lebih mahasiswa sejati harus senantiasa berusaha dan berhasil mengingat dengan baik dan cermat (titi), tak hanya pada apa yang disampaikan oleh pengajar, tetapi juga apa yang dibaca dari bahan pustaka, serta apa yang diindera secara langsung oleh kenyataan. Karena itu, ketrampilan belajar pertama yang harus dimiliki adalah kemauan dan kemampuan kehendak memperhatikan dengan cermat (niteni) perkuliahan, kepustakaan, dan penginderaan. Nuladhani berarti menirukan, mencontoh, dan meneladani dengan baik. Siswa dan lebih-lebih mahasiswa sejati harus senantiasa berusaha dan berhasil mempraktikkan dengan baik contoh (tuladha) yang diberikan, tak hanya pada apa yang diperagakan oleh pengajar, tetapi juga apa yang digambarkan dalam bahan pustaka, serta apa yang diindera secara langsung dari para pelaku kegiatan atau tindakan. Karena itu, ketrampilan belajar kedua yang harus dimiliki adalah kesediaan berlatih dan kesungguhan melakukan dengan tepat peragaan perilaku dan tindakan dari pengajar, bahan pustaka, dan pengamatan dari para pelaku. Nambahi berarti menambahkan segala apa yang telah diperhatikan dan diteladankan oleh pengajar, sehingga tak hanya meningkatkan pengetahuan pribadi, tetapi juga meningkatkan perbendaharaan pengetahuan umat manusia. Siswa dan lebih-lebih mahasiswa sejati senantiasa berusaha dan berhasil menambahkan dengan cerdas, tak hanya pada apa yang telah diajarkan oleh pengajar, tetapi juga apa yang ditunjukkan dalam bahan pustaka, serta apa yang dipelajari secara langsung dari para pelaku kegiatan atau tindakan. Karena itu, ketrampilan belajar ketiga yang harus dimiliki adalah kesediaan merenungkan, memperbarui, dan menambahkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap dan perilaku baik dari pengajar, bahan pustaka yang ada, serta pengamatan dari para pelaku sekarang.Sudahkah kita memahami dan melaksanakan tiga cara belajar yang harus dimiliki oleh tak hanya siswa dan mahasiswa, tetapi juga siapa pun yang hendak digolongkan sebagai kaum terpelajar?
Sebagaimana yang telah disampaikan Kemenristek Dikti, bahwa saat ini seluruh dunia sedang memasuki era revolusi industri 4.0 namun angka Partisipasi Kasar pendidikan tinggi baru berada pada kisaran 31,5% dan trend-nya hanya akan meningkat pertahunnya pada kisaran 0,5%. Untuk itu Kemenristek Dikti. Klaus Schwab dalam bukunya yang berjudul The Fourth Industrial Revolution, menyatakan bahwa arus revolusi yang terjadi saat ini harus mampu menggabungkan teknologi fisik, digital dan biologis yang berdampak pada semua disiplin ilmu. Kesuksesan menggabungkan berbagai bentuk teknologi seperti internet of things, genetic editing, artificial intelligent, big data mining, mobil swakendara, dan superkomputer yang mau tidak mau akan merevolusi cara kita menjalani kehidupan.
Saat ini dunia pendidikan di Indonesia masih belum optimal dalam mempersiapkan generasi penerus bangsa, belum lagi keterbatasan kita dalam mempertajam rasa – dalam makna kesadaran – sehingga mengakibatkan kurang sensitif atas segala bentuk perubahan yang terjadi di masyarakat. Padahal salah satu fungsi Pendidikan Tinggi adalah mereaksi dengan responsif tantangan yang dihadapi masyarakat dengan memberikan rekomendasi dan solusi yang bijak pada saat yang tepat. Tentunya hal tersebut harus didahului dengan kepekaan fikir, batin dan tindakan.
Alih-alih memperkuat capaian pendidikan dalam kuantitas sebagaimana berbagai tolok ukur statistik pendidikan yang orientasinya cenderung mengarah ke kompetensi, kita pun tak harus membenamkan kualitas diri lulusan dan segenap kontributor lulusan. Sebagaimana dua fungsi manusia dalam konteks keharibaan. Fungsi pertama adalah fungsi kehambaan dalam hubungan keterkaitan dengan Allah SWT. Fungsi kedua adalah kemandirian yang diperoleh melalui serangkaian proses pendidikan. Dengan demikian Pendidikan yang berorientasi pada fungsi keharibaan nantinya akan melahirkan manusia yang cerdas namun seolah lupa dengan asal usulnya, orang jawa mengistilahkan dengan kata keblinger. Sehingga kedua fungsi manusia diatas harus dapat terintegrasi melalui serangkaian proses atas kedua fungsi manusia tersebut.
Bersamaan dengan memperingati Hari Pendidikan Nasional ini, marilah bersama-sama meningkatkan kinerja sesuai dengan kedudukan dan peran masing-masing. Mendahulukan kewajiban daripada hak. Belajar menghayati dan menjalankan kaidah ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani, dan menghayati dan menerapakan cara belajar niteni, nuladhani, lan nambahi serta meningkatkan metode dan model pembelajaran agar berkemampuan adaptif dalam berproses menetaskan generasi yang berdaya dalam hal mental, nalar, dan yang terpenting adalah integrasi kesadaran, pengertian dan kecerdasan yang kemudian membentuk seorang insan berkarakter. Berkarakter disini dapat disebut pula berkeluhuran budi pekerti.
Selamat Hari Pendidikan Nasional. Mari berikhtiar bersama mewujudkan generasi cerdas berkeluhuran budi pekerti untuk bangsa Indonesia. Semoga Allah senantiasa memudahkan ikhtiar kita menumbuhkan peserta didik menjadi lulusan berbudi pekerti yang kompeten dalam bidang keilmuannya. Aamin
Mojokerto, 2 Mei 2018
Dr. Rachman Sidharta Arisandi, S.IP., M.Si
Pengajar memang harus memiliki sifat ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, dan tut wuri handayani
Sebagai seorang pendidik, dosen memang seharusnya tak hanya melihat dari sisi akademik saja. Namun seorang pendidik juga harus dapat membangun karakter para mahasiswa didikannya, agar selain pintar para mahasiswa juga memiliki attitude yang baik